JPU Bisa Ambil Harta Pelaku Kejahatan Di RUU Perampasan Aset.

Share it
    Foto : Yunus Husein “Perumus naskah akademik RUU Perampasan Aset”.

Masyarakat Indonesia belum lama ini dihebohkan dengan dugaan kebocoran uang negara sebesar 349 triliun rupiah yang menggemparkan se antero negeri.

Pemerintah melalui Presiden RI Ir.Joko Widodo, ahirnya memerintahkan Menkopolhukam RI. Prof.Machfudz MD membentuk Satgas khusus menangani dugaan skandal penyimpangan uang negara tersebut.Salah satu misi penting dari agenda tersebut adalah membuat rancangan UU Perampasan Aset.

Dikutip dari “Kompas TV ”
Perumus naskah akademik RUU Perampasan Aset, Yunus Husein menjelaskan penyitaan aset ini dilakukan jika tersangka atau terdakwa yang melarikan diri, meninggal dunia hingga tersangka berada di luar negeri sehingga tidak dapat dieksekusi.

Mekanisme perampasan aset ini tentunya dilakukan di pengadilan. JPU melakukan permohonan kepada majelis hakim untuk menyita aset milik terdakwa meski vonis belum dijatuhkan.

Menurut Yunus aturan yang berlaku saat ini aset atau barang bukti bisa dirampas negara jika sudah ada keputusan pengadilan secara inkrah.

Jika nantinya RUU Perampasan Aset disahkan menjadi UU, maka negara melalui Kejaksaan Agung bisa merampas aset tanpa menunggu vonis pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa.

“Pendekatan RUU ini banyak penerapan perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Orangnya tidak dihukum, mungkin buron, meninggal dunia, tidak dapat dieksekusi karena susah asetnya saja yang dirampas untuk negara,”

“Jadi negara berperkara dengan aset, negara tidak berperkara dengan pelakunya. Jadi pelakunya tidak dihukum dulu tapi langsung asetnya dirampas,” kata Yunus.

Yunus menambahkan jika nantinya pengadilan memutus bahwa aset yang disita tidak berkaitan dengan perkara, maka negara wajib mengembalikannya.

Untuk pengelolaan aset yang disita, bisa berkaca dari Belanda. Negara tersebut menjual semua barang-barang sitaan dengan harga yang berlaku saat barang disita.

Uang hasil penjualan barang bukti disimpan di sebuah organisasi pengelolaan. Kemudian jika pengadilan memutus harus dikembalikan, negara mengembalikan dalam bentuk uang sesuai dengan hasil penjualan.

“Ini salah satu alasan untuk mengajukan permohonan menyita aset tanpa menghukum pelakunya. Kalau di pengadilan tidak terbukti aset yang disita harus dikembalikan, jadi harus dikembalikan kalau tidak bersalah,” ujar Yunus.

Melalui Pengadilan
Lebih lanjut Yunus menegaskan mekanisme perampasan aset harus melalui pengadilan, sehingga tidak ada proses perampasan negara yang dilakukan saat penyelidikan ataupun penyidikan.

Langkah ini agar memberi kesempatan bagi pihak ketiga atau pihak berkepentingan untuk membantah aset yang sedang disengketakan tidak berkaitan dengan perkara.

Kemudian dalam RUU Perampasan Aset juga dibuat batasan perkara yang bisa dilakukan perampasan yakni ancaman hukuman empat tahun lebih. Jumlah aset yang dirampas ditentukan paling sedikut Rp100 juta.

“Kenapa Rp100 juta, dalam kasus narkotika misalnya yang disita misalnya asbak, buat apa barang-barang kecil ngerepotin kita. Jadi harus ada nilai yang signifikan,” ujar Yunus.(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *