Kepahiang, Selimburcaya.com – Jika Bengkulu dikenal dengan batik besureknya, maka Kabupaten Kepahiang memiliki batik diwo, warisan budaya yang kini kembali populer dan menjadi seragam dinas Pemda Kepahiang. Batik diwo, dahulu dikenal sebagai batik ‘Raja Redjang’, hanya digunakan oleh para raja dan bangsawan. Suku Rejang, yang mendominasi wilayah Kepahiang sejak dulu, menjadikan batik ini sebagai simbol kebanggaan.
Namun, batik diwo sempat terlupakan oleh masyarakat. Berbagai faktor menyebabkan warisan ini hampir hilang. Baru pada tahun 2008, upaya untuk menghidupkan kembali batik diwo dimulai. Pengrajin batik mulai memproduksi kembali kain yang dulunya hanya dipakai oleh para raja, sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.
Helmiyesi, pelestari kain diwo dan penasihat Yayasan Az-zahra, menceritakan bahwa pada masa itu, Bupati Kepahiang menginisiasi pengembalian batik diwo menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah. Tak hanya itu, batik diwo juga dijadikan seragam wajib di lingkungan pemerintah daerah dan sekolah.
Meskipun Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Kepahiang sempat berupaya menghidupkan kembali batik ini, usaha tersebut terhenti seiring pergantian kepemimpinan. Namun, pada tahun 2016, sejumlah pengrajin, seperti Nurhayati, Erna Wati, dan Reka Melyana dari UMKM Sumber Hayati, bersama dengan Yayasan Az-zahra yang dipimpin oleh Helmiyesi, berkolaborasi untuk merintis kembali batik diwo.
Pelatihan membatik bagi perempuan desa, terutama kepala keluarga berekonomi rendah, menjadi langkah awal mereka. Berkat kolaborasi tersebut, berdirilah Rumah Kreatif Batik Diwo di Desa Sidorejo, Kecamatan Kabawetan, yang dipimpin oleh Sri Wanti. Selain itu, Yayasan Az-zahra juga membentuk UMKM Umeak Kain Diwo di Kelurahan Padang Lekat, Kecamatan Kepahiang, yang semakin menyalakan semangat untuk menghidupkan kembali batik para raja.
Helmiyesi menjelaskan bahwa batik diwo memiliki lima motif utama, masing-masing dengan makna dan waktu penggunaannya sendiri.
“Motif pertama, Selempang Emas, melambangkan keagungan dan biasanya digunakan oleh raja atau penguasa di Kepahiang. Kedua, motif Stabik, adalah bentuk salam penghormatan, menggambarkan budaya suku Rejang yang selalu meminta izin sebelum melakukan kegiatan.Motif ketiga, Kembang Lima, melambangkan persatuan dan kesatuan, menggambarkan empat pokok arah mata angin yang bersatu dalam kebhinekaan. Keempat, motif Aksara Kaganga, merupakan simbol kecerdasan dan berpendidikan, mencerminkan kemampuan masyarakat suku Rejang dalam menulis sejak zaman dahulu. Terakhir, motif Pucuk Rebung, doa bagi Kabupaten Kepahiang yang merupakan kabupaten pemekaran dari Rejang Lebong, melambangkan pertumbuhan dan harapan untuk menjadi kabupaten yang kuat, mandiri, dan sejahtera” ujarnya.
Untuk mengembangkan motif, Yayasan Az-zahra melakukan pelatihan penulisan aksara Kaganga pada kain diwo. Helmiyesi menekankan pentingnya pembatik memahami motif yang mereka buat agar dapat menulis dan menggambarkan motif dengan kata-kata yang bermakna.
“Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, batik diwo kini kembali menjadi kebanggaan masyarakat Kepahiang, membuktikan bahwa warisan budaya yang hampir terlupakan dapat hidup kembali dengan dedikasi dan kerja keras”.Pungkasnya
Pewarta : Zoel
Editor : Ardy